a very short story

I really wanna impressed you too, like a smart girl. a half conventional women and half modern independent girl. but I don’t have anything but jokes. is that enough for me to have a right that I have a right to fall in love with you? from the very first time I saw you.

may hera, di dekat jendela
sebuah pernyataan untuk cinta, kalau kata seno gumira ajidarma

Tukang Salon Banyak Tanya

salon

Pulang kampung lalu ke salon langganan ibu dan bulik-bulik saya adalah sesuatu. Bukan karena murah, tapi karena saking akrabnya. Sesuatu yang seharusnya membahagiakan, malah berujung kurang menyenangkan.

Jika di Jogja, di salon langganan saya –yang adalah milik mantan ibu wali kota– tak ada pertanyaan aneh-aneh kecuali soal perawatan. Di kampung, lain. Salon langganan ibu dan bulik-bulik saya terletak di tepi jalan besar, di kelurahan paling selatan Kota Blitar, berbatasan dengan wilayah kabupaten. Di salon ini, ibu pemilik salon melayani bersama satu asisten. Usianya sama dengan bulik saya. Awal 50-an.

Sebagai salon di kota sangat kecil dan melayani pelanggan di area kecil, si ibu selalu ngobrol ngalor-ngidul dengan pelanggan. Dia, bak buku kamus yang tak pernah absen memperbarui data pergosipan di antara kehidupan pelanggannya. Begini kira-kira yang menimpa saya:

Dia: Lho sampeyan lama sekali gak ke sini, dulu waktu kuliah kecil. Saiki kok luuueeemu (untuk menegaskan saya gendut sekali).
Itu belum nanya saya mau potong, creambath atau mewarnai rambut.

Saya: Lha enggih, lha wong maeme kathah.
Lalu terjadilah tanya jawab soal mau diapakan. Bla bla bla…

Dia: Keramas dulu ya.
Saya: Nggih.
Terjadilah percakapan saat adegan keramas.
Dia: Bulik sampeyan itu balen sama Paklik sampeyan.
Saya: Nggih.
Dia: Kok bulik sampeyan mau ya, kalau saya walah…bla bla bla
Saya: Nyengir kuda.
Dia: Sampeyan putranya berapa?
Sampai pada pertanyaan ini saya sudah harus menyiapkan mental, mengingat lagi si ibu ini tingkat kekepoannya level 9 dari rate 1-10.
Saya: Belum punya.

Keramas krucuk-krucuk, alhamdulillah terjadi dalam diam. Tapi nanti dulu, adegan baru dimulai ketika potong rambut bablas mewarnai.

Dia: Ibuk bapak sehat dek?
Saya: Alhamdulillah sehat.
Dia: Sampeyan kok iso urung nduwe anak dek. Wis usaha apa saja?
Saya nyengir kuda, seraya menjawab seadanya, dan pertanyaan tentang kehidupan pribadi saya memang menjadi panjang. Berkelok-kelok yang saya jawab pendek-pendek, seadanya. Lalu saya memutuskan harus keluar dari lingkaran setan pertanyaan itu.

Saya: Anu, tanah kidul mriku napa badhe dibangun hotel?
Dia: Yang mana dek? Depan Hotel Gita Puri?
Saya: Nggih
Dia: Bukan dek, itu depan pertokoan, belakangnya perumahan. Itu tanah desa, tapi dikapling, dijual. Tumbaso dek, KPR BTN, lumayan buat investasi.
Saya: Ooo saya dengarnya kok mau dibangun hotel.
Dia: Woo lha aku infone dari Bu RW lho dek, wingi dia ke sini. Lha nek dari Bu RW kan ya mesti bener ta.
Saya: Nggih.

Kemudian adegan ngecat rambut.
Dia: Wingi tanggane sampeyan ke sini lho. Aku gak kenal, pendatang baru..
Saya: Nggih kula nggih mboten kenal kok…
Dia: Dia cerita rumahnya dekat masjid kembar
Saya: Mboten kembar jane, niku ming dua masjid, NU dan Muhammadiyah dibangun berhadapan.
Lalu dia ngrasani masjid…
Dia: Lha iyo dek, mbiyen ki jare nganti dijaga polisi. Ya mbingungi kuwi masjide. Yang wakaf sama-sama gak mau ngalah, penginnya dapat pahala dari masjid.
Saya: Nyengir kuda.

Sebelum jauh berganti topik, saya diselamatkan dua hal. Pertama datanglah pelanggan lain, yang menyebabkan dianya berhenti bertanya-tanya, ganti objek penderita. Yang kedua, kami sama-sama mengantuk. Pada sesi kedua pengecatan, jam sudah di angka 9 malam. Dia ke belakang, memarahi anaknya agar belajar. Saya menunggu cat meresap sambil SMS ibu, mengabarkan pulang telat disambung menulis cerita ini.

Di Jogja, saya tidak akan bisa mengecat rambut di salon pada jam 9 malam, harganya murah, disertai pertanyaan investigatif soal kehidupan pribadi. Seraya menghilangkan kantuk, saya mimik Aqua gelas sambil mendengarkan musik dari ponsel.

Sekian,
Blitar, 30 Juli 2017
21.16 WIB

#salon #salonkecantikan #gosip #pergosipan #catrambut #warnarambut

when we hate me and you


under the same sky, in the same question, why we hate ourselves? 

we love each other. it was. until I hate myself, you did too. you hate yourself and we have situation: we hate me and you.

when we hate me, you can stay away and reject me. I can’t stay away and reject myself. 

when we hate you, I can stay away and reject you. you can’t stay away and reject yourself.

we end up by hate each other. I hate you. you hate me. we hate ourselves and still living under the same sky. so what kind of world we live in? 

I remember when we love each other. it was. 

~~~
Jogja, December 12, 2016

Pekerjaan Suami Saya #2

Mary Jane Watson memutuskan melahirkan normal sebab katanya operasi caesar lebih lama sembuhnya. Ia tak ingin berlama-lama sakit.

Di atas ranjang ruang bersalin perutnya melilit. Suaminya belum datang. Ia berteriak kencang. “Dokter toloooong, bayiku hendak keluar.”

Dokter cantik yang siap sedia, tenang menghadapi melilitnya perut Mary Jane Watson. Seraya menggulung lengan baju ia bertanya, “ke mana suami Anda?”

“Bekerja..aaaaa…dokter ini sakit rasanya.”

“Memangnya apa pekerjaan suami Anda sampai-sampai tak mendampingi istrinya melahirkan?”

“Superhero dokter…suppppeeeerr hhheeeerooo…aaaaaaa.”

“Oeeeeek…oeeeek.”

Sekian.
Sekip, 9 Februari 2016
01.45 WJO (Waktu JOgja)

Cemburu

kopi latte2

Pada suatu hari yang hujan, saya dan seorang lelaki (sebutlah dia mantan pacar yang sudah jadi teman baik) bertemu dan berbincang. Kafe tak begitu ramai. Dua cangkir coffee latte tak mampu membuat suasana menjadi romantis.

Padahal kalau diperhatikan, suasana cukup “sempurna”. Sebutlah: kafe hangat, musik jazz, berdua, dua cangkir kopi susu kemayu (baca: coffee latte), sofa dan jendela dengan pemandangan hujan di luar sana.

Tapi ini bukan drama Korea! Marilah kita mulai percakapannya, antara dua orang yang dulu pernah (kira-kira kalau tidak lupa), ingin hidup bersama tapi gagal (dan selalu menyalahkan takdir).

“Kamu cemburu gak sama istriku?”

Cemburu? Pertanyaan yang aneh bukan?

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Pokoknya enggak.”

“Apa karena istriku jauh lebih muda darimu?”

“Enggak juga.”

“Atau jangan-jangan karena kamu anggap dia enggak selevel?”

“Ya enggaklah, dia sudah jadi ibu, aku belum. Levelnya tinggian dia lah.”

“Lalu? Kenapa kamu tidak cemburu?”

Laki-laki. Kalau sedang jenuh dengan rutinitas memang kadang otaknya “somplak” (untuk tidak mengatakan sinting).

“Kamu mau tahu kenapa aku tidak cemburu sama istrimu?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Pengen tahu saja.”

Saya diam, sebab tiba-tiba dalam kepala saya terputar lagu Ambulans Zigzag-nya Iwan Fals. Lagu yang kalau tidak salah ada lirik begini: “Hai modar aku, hai modar aku….”

“Sebab….”

“Apa?”

“Sebab istrimu tidak kenal Iwan Fals, Dewa 19, atau Sheila on Seven. Yaa mungkin kenal, sebab mereka memang terkenal. Tapi, lagu-lagunya, aku jamin, istrimu tidak akan se-khidmat aku dan kamu (untuk tidak mengatakan kita) ketika mendengarkannya.”

Lelaki yang ngotot ingin tahu kenapa saya tidak cemburu pada istrinya itu, diam. Lalu kata-katanya membuat saya tergelak.

“Iya sih, dan dulu aku sering tidak nyambung ngomongin Iwan Fals, Dewa atau Sheila on Seven sama istriku. Tapi, itu kan cuma musik, apalah artinya. Sekarang aku mendengarkan apa yang dia dengarkan.”

“Lagu apa?”

“Ya Afgan, Fatin, banyaklah.”

“Jadi, itulah sebabnya aku tidak cemburu sama istrimu. Sama sekali tidak. Kenapa? Karena istrimu selamanya tidak akan pernah tahu nikmatnya mendengarkan Ambulans Zigzag, atau Mahameru atau Kita-nya Sheila. Ngapain cemburu, ya kan?”

Oke, ngapain cemburu? Ini soal generation gap. Saya, kemudian membahasnya sendiri dalam kepala saya. Soal jurang generasi alias generation gap (biar kelihatan kerenlah, keminggris).

Saya merasa menikmati masa remaja di era “emas” dengan musik-musik cadas, yang kemudian harus diakui mengiringi saya mengarungi kerasnya hidup (untuk tidak mengatakan takdir).

Musik-musik era 90-an itu tetap gemilang dalam benak saya. Dan begitulah, jika saya bertemu dengan generasi, yang katakanlah, belum remaja ketika era 90-an, maka bisa dipastikan dia adalah generasi selanjutnya.

Kepada generasi setelah 90-an, apa yang harus dicemburui? Saya, begitu lena dan bangga pada era 90-an. Generasi setelahnya tidak bisa mencicipinya. Sebab siapa yang mampu memutar waktu?

Musik bisa diputar, film bisa kembali ditonton, tapi, hujan 90-an beda nikmatnya dengan hujan hari ini, bukan begitu? Dan karena itulah, memang, tak ada yang harus dicemburui.

“Ayo pulang, hujan sudah reda,” kata saya seraya berdiri menuju kasir. Hari ini, saya yang traktir.

Sekip
2 November 2015

Catatan kaki:
Kisah ini tentu saja bukan terjadi baru-baru ini, sebab hujan belum datang hingga sekarang. 🙂

Pekerjaan Suami Saya

Mary Jane Watson datang ke kantor sebuah nightclub, siang hari. Ia wawancara kerja, hendak menjadi penyanyi.

Setelah ditanya-tanya ini itu, si pewawancara bertanya lagi, “suami Mbak Mary pekerjaannya apa?”

Mary Jane mengerutkan kening, tidak penting sekali menanyai pekerjaan suami.

Tapi ia menjawab juga dengan enggan. “Pekerjaan suami saya superhero,” jawab Mary Jane.

Jogja
Sabtu, 28 Desember 2013

Galak yo ben, sing penting bla bla bla

psikologi komunikasi

Teman saya, suatu pagi tiba-tiba memencet bel di pintu flat tempat tinggal saya. Di depan pintu dia berkata, “tadi aku naik kereta, mandi di stasiun, ke sini naik taksi. Ayo kita sarapan di SGPC Bu Wiryo, kamu tidak usah mandi. Kesuwen, aku selak luwe.”

“Baiklah,” kata saya. Cuci muka, lalu makan nasi pecel di SGPC Bu Wiryo, ngobrol sana-sini dengan teman lama yang tampangnya tak berubah sejak zaman kami masih sekolah.

“Kemarin aku baca bukunya Pak Jalal,” katanya.

“Pak Jalal sopo?”

“Jalaludin Rahmat-lah.”

“Sing endi?”

“Sing koyo bukumu kuwi.”

“Psikologi Komunikasi?”

“Ho oh.”

“Terus?”

“Yo rak terus, belok lah, kalau terus nabrak May.” Padakke truk gandeng.

“Maksudku terus kesimpulannya abis kamu baca itu opo?”

Dia tidak menjelaskan kesimpulan bukunya, atau rangkumannya. Tapi dampak setelah membacanya. Katanya, setelah membaca dan merenung, terutama melihat sampulnya bergambar empat ekspresi yang berbeda wajah manusia, dia lantas menjalankan pengamatan.

“Aku sekarang mengamati tampang-tampang manusia lho May, gara-gara bukune Pak Jalal.”

Di dunia ini, berdasarkan pengamatan teman saya itu, manusia bisa dipilah-pilah dari gerak-gerik, perilaku dan tampangnya.

“Tampang ki maksude piye?” tanya saya bodoh.

“Yo tampang, wujude, kemakine, kemayune, galake, pekoke lan liya-liyane.”

“Kok kowe repotmen memilah-milah menungso seko tampange?”

“Hawong iki ekses bar moco buku kok, piye kowe ki.”

Saya tertawa. Lalu dia tiba-tiba berkata yang membuat saya ndomblong.

“Tampang manusia minta ditiduri itu ada lho May, ada, coba amati,”  kata teman saya sambil mak-kriuk, menggigit krupuk. Saya ndomblong sambil mikir keras.

Lalu saya bertanya sambil ber-haaaa?! “Tampang pengen ditiduri ki sing piye?”

Teman saya menjawab, “Susah dijelaskan dengan kata-kata, ini menyangkut pengalaman melihat.” Saya ber-haaa lagi.

“Haaaaaa?!”

Lalu saya takut, jangan-jangan tampang saya?

“Kalok kamu sih gualak May, mana ada yang mau,” teman saya tiba-tiba menyahut. Kampretos.

“Galak yo ben, sing penting….”

Saya tidak melanjutkan, lalu berkata: “ayo muleh, sarapanku bayari yo.”

Dia menyahut: “Yoo…”

@MayHera
-Maret, 2015

#ngunandika1

Catatan kaki:
Gambar yang menyertai tulisan ini adalah sampul buku Psikologi Komunikasi, karangan Drs. Jalaluddin Rahkmat, Msc., penerbit Rosda Karya, 2007.

#CeritaKilas1

Alkisah, Cinderela telah berumahtangga dengan sang pangeran. Pangeran Kodok yang tampan. Suatu hari, Cinderela berkata, “Pang, minta uang dong.”

“Buat apa? Beli labu?” tanya Pangeran.

“Bukan, buat ke salon, aku hendak manicure. Itu lho Pang, kegiatan bersih-bersih-cantik kuku dan tangan,” jawab Cinderela.

“Boleh boleh, tapi pulang dari salon jangan tinggalkan kewajibanmu mencuci panci yang pantatnya gosong lho ya. Kemarin kamu kan lupa mematikan kompor, sewaktu menghangatkan kolak pisang. Ingat kita tidak menyewa pembantu rumah tangga. Kan kamu sendiri yang enggan, paranoia, takut para upik abu sewaan itu merebut kedudukanmu.”

Sekian.

Bukan Eleanor Rigby

Kota ini memang bukan Liverpool, tempat Eleanor Rigby* duduk sendiri. Tapi banyak perempuan muda di sini yang hidup sendiri, tak bersama lelaki. Mungkin mereka meniru Eleanor Rigby.

Mungkin, karena kita tidak tahu, apakah Eleanor Rigby merasa senang diciptakan sendirian. Eleanor Rigby tidak bisa kita tanya, ia hanya patung perunggu. Keberadaannya dipersembahkan bagi seluruh orang-orang yang kesepian. The lonely people.

Tapi, Sira bisa kita tanya kenapa dia memilih hidup sendiri, tanpa suami apalagi anak. Tanyalah, dia akan senang menjawab. Meski jawaban itu tak selalu menyenangkan.

“Jadi kenapa Sira?” tanya seorang teman pada sebuah sore. Teman itu sedang berkunjung ke flat tempat tinggalnya. Jumat sore menjelang libur akhir pekan.

“Apanya yang kenapa?” Sira mengaduk seduhan teh hijau, pesanan si teman.

“Ya jadi kenapa kamu memilih hidup sendiri begini. Tidak ingin punya sekadar pacar?”

“Kalau kamu, kenapa suka teh hijau dan bukan kopi?”

“Lho kok malah ganti bertanya?”

“Ya karena jawabannya akan mirip dengan jawaban pertanyaan sebelumnya.”

“Beda dong, soal kopi dan teh itu soal selera minum saja.”

“Ya berarti sama dong, soal pilihan hidup itu soal selera.”

Teman yang bertanya itu senyum. Lantas tidak bertanya lagi. Sira juga senyum, merasa agak geli dan konyol membandingkan pilihan tetap hidup sendiri dengan sekadar selera memilih teh atau kopi.

Tapi ada yang mengganjal dan perlu ditanyakan pada si teman, sebelum teh hijaunya habis diseruput lalu pamit pulang karena sudah dicari si suami.

“Eh tapi sebentar. Sekadar pacar?”

“Iya. Sekadar pacar.”

“Pacar kok sekadar? Maksudnya apa?”

“Ya memang sekadar. Menurutku pacar itu kan sekadar status, sekadar agar tak sendirian, sekadar agar bisa mencurahkan apalah namanya…”

“Nafsu?”

“Bolehlah nafsu. Tapi tak melulu itu. Tempat mencurahkan perasaan, curhat. Pacar itu ya sekadar pendamping. Tak ada konsekwensi apa-apa. Beda dengan suami. Ikatannya banyak.”

“Ini dia yang tidak kumengerti. Rasanya aku tidak perlu sekadar pendamping. Temanku banyak, termasuk kamu.”

“Ya tapi kan aku tidak sering bersama kamu. Dan lagi siapa tahu kamu bosan jalan kemana-mana sendirian. Kalau ada sekadar pendamping kan lumayan ada teman.”

“Pemikiran yang aneh. Kalau begitu aku lebih senang sendiri saja.”

Teman itu senyum lagi. Sebentar lagi dia pasti pulang, ditelepon mantan ‘sekadar’ pacarnya yang telah menikahinya.

“Eh tapi sebelum pulang, aku mau tanya lagi. Berarti Ben, dulu pernah jadi sekadar pacar ya?”

“Ya pernah lah. Ben itu sekadar pacar, dan tetap begitu statusnya sampai dia melamarku, lalu menikahiku.”

Ponsel si teman berdering. Ben, suaminya menelepon. Mobil sudah di depan flat   artinya si teman harus pulang.

****
Ketika Senin datang, mereka kembali bertemu. Di kantor bersama setumpuk pekerjaan. Hanya ada jeda seperti biasa, yaitu ketika makan siang tiba.

Dan seperti biasa juga, mereka makan siang di restoran depan kantor. Pemilik restoran itu sering memutar lagu-lagu zaman dulu. Satu hal yang Sira dan si teman suka.

Seperti sekarang, The Beatles terdengar kencang menyanyi ketika mereka menyantap dua mangkuk soto. All the lonely people. Where do they all come from? All the lonely people. Where do they all belong? Lagu itu, Eleanor Rigby, di telinga Sira seperti sedang menyindirnya.

“Mana ku tahu,” celetuk Sira tiba-tiba.

Si teman bingung, menoleh ke arah Sira, kening bekerut tanda bingung.

“Apanya?”

“Oh itu, aku menyahut Beatles.”

“Maksudnya?”

“Iya itu, Beatles. Ini lagu ini. Ah look at all the lonely people, where do they all come from? Kujawab mana kutahu,” Sira menjelaskan sambil terus menyendok soto.

“Kamu ini aneh, lagu kok dijawab. Dan lagi Beatles kan tidak bertanya padamu.”

“Memang, tapi kan tidak semua orang kesepian itu sendirian. Dan tidak semua orang yang sendirian itu kesepian.”

“Kamu mendebat Beatles?” tanya si teman dengan wajah heran.

“Tidak. Tapi aku benar kan?”

“Bisa iya, bisa tidak.”

“Kenapa begitu?”

“Ya karena ada orang yang sendirian dan benar-benar kesepian, dan ada orang yang hidup bersama lalu tidak merasa kesepian,” ujar si teman sembari menuang sambal ke mangkuk sotonya.

Sira terdiam, termasuk aktivitasnya menyendok soto juga terhenti. Kepalanya penuh tanya. Mengulang pertanyaan Beatles.

“So, where do they all come from?” tanya Sira memandang si teman. Ya, dari mana mereka semua, orang-orang kesepian itu berasal?

“Ya seperti kamu katakan tadi, mana ku tahu?” si teman tersenyum.
Mereka lantas melanjutkan makan siang, kembali ke ruang kantor, bekerja dan pulang ketika sore tiba. Sama-sama tak tahu, dari mana asal semua orang kesepian itu.

Si teman, seperti biasa dijemput Ben, suaminya. Sedangkan Sira, seperti biasa juga pulang sendirian. Tak benar-benar sendiri sebenarnya, karena dalam busway itu dia juga bersama puluhan penumpang lain.

****
Selang sebulan setelah makan siang itu, hidup Sira tak banyak berubah. Bangun pagi di hari Senin hingga Jumat, ke kantor, pulang sore hari, menyiapkan makan malam, membaca novel, nonton TV, lalu tidur. Begitu terus hingga Sabtu dan Minggu tiba.

Akhir pekan, Sira ke toko buku, makan sushi di restoran Jepang, lalu menonton serial Korea romantis. Jika tak sedang enggan duduk dalam gelap di bioskop, Sira ke sana.Memesan tiket lalu menonton film yang disukai.

Tak ada yang aneh tiap akhir pekan tiba. Yang dirasakan aneh justru ketika tiba-tiba ponsel Sira berdering pada Sabtu malam itu. Sebuah nama yang tak asing muncul di layar.

“Halo tumben menelepon malam Minggu begini. Ada apa?”

“Sira…” suara di ujung telepon itu serak isak. “Aku boleh ke rumahmu?”
“Hei ada apa? Kamu menangis? Mau kujemput?” Sira mendadak agak panik mendengar isak di ujung telepon.

“Tidak usah, aku sudah di taksi, sebentar lagi sampai rumahmu.”

“Baiklah, hati-hati.”

Tak lama si penelepon itu tiba. Matanya sembab. Sesaat setelah Sira membuka pintu, dia menghempaskan tubuh ke sofa babut. Meraih remote TV, menekan tombol off. Sira mengerti, di saat sedih dia juga ingin sepi, tanpa suara TV.

“Kubuatkan cokelat hangat, mau?”

Si penelepon itu mengangguk. Airmatanya disusut lagi. Sira mencoba menerka apa yang sedang terjadi. Tak ingin banyak bertanya. Ketika sedih, Sira juga tak suka ditanya-tanya.

“Minumlah dulu agar tenang,” secangkir cokelat hangat disodorkan lantas diseruput pelan. Isaknya mereda. Tak ada kata-kata yang meluncur dari bibirnya. Sira diam, matanya menuju layar TV yang mati.

“Ini malam Minggu pertamaku sendirian,” katanya tiba-tiba. Mata Sira menatap wajah dengan mata sembap itu penuh tanya.

“Ben kemana?”

“Tadi pagi Ben pergi. Selanjutnya, aku akan sendiri Sira. Padahal baru sebentar aku dan Ben menikah.”
“Ben…pergi bagaimana?” Sira bingung.

“Ke Perth. Dia memutuskan mengambil jatah sekolah ke Perth yang diberikan kantor. Sebulan ini kami berdebat panjang. Apakah aku perlu ikut atau tidak. Akhirnya dia berangkat sendiri Sira, aku yang mengalah.”

Sira menghembuskan napasnya. Lega. Pikirannya sudah buruk soal mereka. “Oh ke Perth. Kukira…”

“Mau bagaimana lagi. Ben tidak mau aku keluar kerja. Katanya pekerjaanku sudah baik. Dia berjanji tiga bulan sekali pulang.”

“Ben benar. Dan lagi jika kamu ikut bisa jadi malah merepotkannya. Dia kan sekolah di sana.”

“Tapi Sira, dia itu laki-laki, aku takut dia macam-macam.”

“Ben hanya butuh kepercayaanmu. Tak lebih.”

“Kamu kan belum punya suami, jadi tidak mengerti kekhawatiranku.”

“Memang, tapi sekarang ini tak ada yang bisa kamu lakukan selain percaya.”

Mereka terdiam, mata menatap layar TV yang mati. “Sira, malam ini aku tidur di sini ya? Aku kesepian tak ada Ben.”

Sira tersenyum mengangguk. Diraihnya remote TV dan ditekannya tombol on. Benak Sira seketika penuh tanya. Apa iya kalau aku nanti punya suami akan begini jadinya? Sangat tergantung? Sangat kesepian? Sepertinya temanku ini lebih kesepian dibanding aku yang selalu sendirian. Apa benar begitu?

Malam itu hujan turun pelan. Hingga pagi menjelang, mereka terlelap bersebelahan di sebuah ranjang. Tempat Sira selalu tidur sendirian.

~ May Hera ~
Untuk semua perempuan kesepian.

*) Eleanor Rigby adalah patung perunggu berbentuk perempuan berkerudung yang duduk di sendirian di bangku sebuah tepi jalan Kota Liverpool, Inggris. Di sampingnya ada sebuah tas dan burung kecil mematuki roti. Ada plakat bertulis: Dedicated To “All The Lonely People”. Patung ini dibuat oleh Tommy Steele pada 1982. Pembuatan patung terinspirasi oleh lagu The Beatles yang populer pada 1966 berjudul sama. (Sumber: Wikipedia; Jhonlenon.talktalk.org)

Cerita ini pernah dipublikasikan di Majalah Chic edisi September 2012.

Di Rumah Sebelah

Apakah Anda percaya jika saya katakan bahwa manusia itu rentan sekali penasaran, alias ingin tahu tapi agak akut. Ya ingin tahu saja, tidak ada kelanjutannya. Boleh, kan?

Rasa ingin tahu agak akut itulah yang menjangkiti benak saya suatu hari. Suddenly begitu saja. Ketika sedang mengumpulkan kesadaran yang tercerai berai karena tidur, di sebuah siang pada hari libur.

Rasa itu kemudian mendorong saya untuk keluar rumah. Melongok ke luar pagar dan menolehkan kepala ke kanan. Ke arah rumah tetangga yang berdempet dengan rumah saya.

Sebagai single yang hanya mampu membeli rumah di kompleks perumahan bukan mewah, saya tinggal tak berjarak dengan tetangga. Berdempet dengan satu tetangga. Samping kiri taman.

Rumah sebelah sepi-sepi saja. Tapi saya tahu, ada perempuan muda yang baru saja sebulan menikah di rumah itu. Suaminya bekerja sebagai marketing di sebuah bank swasta nasional.

Si suami sudah menjadi tetangga saya setahun terakhir. Dia sibuk, saya menyibukkan diri. Tak pernah benar-benar dekat meski rumah berdempet sekali.

Si istri masih sangat muda, untuk ukuran umur saya yang sudah kepala tiga. Saya taksir usianya baru duapuluhan awal. Mungkin baru lulus kuliah. Tiga pekan lalu saat baru datang, si istri bertamu di sekitar rumah, bermaksud berkenalan.

Namanya Vita. Tiga minggu berselang setelah perkenalan itu, saya nyaris tak pernah bertemu lagi dengannya. Hanya sekali ketika di swalayan depan kompleks. Saya beli kopi, dia belanja banyak sekali.

”Mbak Fika…belanja juga?” celetuknya membuat saya sedikit bingung dan kaget ditambah berpikir agak lama mengingat, siapa dan pernah bertemu dimana. Maklum saya pelupa akut.

”Oh eh hai…ini beli kopi,” kata saya kemudian mendapat giliran membayar lebih dulu di kasir. ”Duluan ya…harus ke kantor nih.”

Dia tersenyum mengangguk. Di perjalanan saya baru bisa ingat dia adalah tetangga sebelah rumah dan bernama Vita. Payah betul saya ini. Mungkin memang perlu periksa otak.

Setelah itu saya sibuk berkutat dengan hidup saya sendiri. Di kompleks ini, saya mungkin termasuk warga yang paling asosial. Jarang bergaul. Terlebih dengan nyonya-nyonya kompleks. Mungkin banyak yang sebaya, tapi kehidupan saya tetap tidak bisa nyambung dengan mereka.

Status saya yang menjadi pembeda. Menjadi single, tanpa suami dan anak, membuat obrolan antara saya dan mereka tak bisa sejalan. Selain juga saya sangat sok sibuk dengan pekerjaan.

Baru ingat lagi soal Vita, ya sekarang ini. Sedang apa ya dia siang-siang begini. Suaminya pasti sedang bekerja. Dia begitu cantik seperti tuan puteri. Selain belanja ke swalayan, apa iya dia sering rumpi sana sini dengan nyonya-nyonya kompleks?

Setahu saya hampir semua nyonya di kompleks ini adalah perempuan pekerja. Arisan nyonya-nyonya kompleks memang ada, tapi itu sebulan sekali. Acara rumpi ringan juga ada tapi itu pagi-pagi sekali, sebelum mereka mandi dan berangkat bekerja bareng suami atau anak-anak ke sekolah.

Ini tengah hari, tak ada acara rumpi. Tak ada agenda arisan. Tuan puteri tentu sendirian. Sama seperti saya sekarang. Tapi saya terbiasa sendiri, sebentar lagi saya juga duduk di depan komputer, mengetik. Sementara dia?

Apa dia juga senang mengetik sesuatu yang tak jelas seperti saya? Menjadi pengkhayal berat di siang bolong mirip saya juga? Atau dia sedang memasak? Menyiapkan candle light dinner untuk si suami?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah ada jawabannya. Tentu saja, saya bertanya pada diri sendiri yang tidak tahu apapun. Jelas tidak ada jawabannya. Saya lantas terusik.

Haruskah saya pura-pura main ke rumah sebelah? Sekadar tersenyum garing dan basa-basi, hai tuan puteri sedang apa siang-siang begini?

Ah konyol sekali. Tapi saya penasaran. Harus apa saya untuk menuntaskannya kecuali main ke sebelah? Melihat langsung si pemicu rasa penasaran itu. Barangkali bisa tuntas lalu saya kembali ke rutinitas, minum kopi sambil mencari inspirasi.

Heran sekali, kenapa bisa penasaran seperti ini. Apa sih pentingnya tahu istri orang sedang apa siang-siang begini? Tak penting sekali. Lantas tiba-tiba sehabis mandi, saya sudah di depan pintu rumah sebelah, tangan kanan memencet bel. Bercelana pendek, dan berkaos oblong bergambar tujuh kurcaci mengelilingi Puteri Salju.

Ah kebetulan sekali, saya juga sedang mendatangi seorang puteri, istri pangeran tetangga sebelah. Apa yang harus saya katakan nanti jika pintu terbuka, selamat siang tuan puteri…hamba penasaran ingin tahu tuan puteri sedang apa?

Tapi bayangan puteri cantik segera lenyap. Menyembul dari balik pintu seorang perempuan bermata sembap. Jelas sekali sehabis menangis. Saya yang terlanjur menyiapkan senyum garing dan basa-basi yang basi, kaget.

“Oh Mbak Fika, ada apa ya?” tanyanya to the point.

“Oh nggak ada apa-apa kok, hanya ingin main. Bolehkan?”

***

Setelah dipersilakan duduk saya nyerocos, basa basi tapi sebenarnya memiliki tujuan pasti, menuntaskan penasaran yang menggelitik sejak tadi.

“Kebetulan hari ini saya libur, ya tidak benar-benar libur sih, masih banyak tulisan juga. Tapi secara hitungan absensi kantor, saya libur.” Ini ngomong apa sih saya juga bingung. Buat apa juga menjelaskan pada tuan puteri bermata sembap ini kalau saya libur, tapi tidak benar-benar libur.

Vita, si tuan puteri bermata sembab itu hanya senyum. Sikapnya yang dingin malah membikin saya kikuk. Membuat basa-basi saya tambah basi. Bingung harus bicara apalagi.

“Saya nggak pernah masuk rumah ini, ini pertamakalinya,” ujar saya makin ngawur. Tapi malah membuat si tuan puteri bersuara.

“Oh ya? Mbak Fika kan sudah bertetangga cukup lama dengan Mas Dwi, kok bisa nggak pernah main ke sini? Sibuk ya?” Saya gantian yang senyum. Tuan puteri sudah berubah mood.

“Ya itu karena kami sama-sama sibuk. Aneh ya? Tapi zaman sekarang model tetanggaan seperti saya dan Mas Dwi itu banyak.”

Obrolan disambung dengan suguhan air dingin, dan keripik kentang. Si tuan puteri lantas bercerita mereka menikah mendadak. Dijodohkan. Di kampung, orangtua mereka bertetangga dekat.

Saya hanya ah oh saja mendengarkan. Lalu membumbui cerita itu dengan mengatakan, tetangga sekitar juga agak kaget, tiba-tiba Dwi pulang kampung di Yogya, lalu ketika kembali sudah membawa istri.

“Yang tidak kaget ya hanya Pak RT dan Bu RT yang dilapori Mas Dwi,” kata saya.

“Saya ini sebenarnya takut mbak. Saya belum terlalu kenal Mas Dwi. Di rumah ini saya juga sepi, tidak punya teman kalau siang. Ingin main ke tetangga juga bingung, banyak yang kerja,” nadanya sedih.

Waduh, saya tambah bingung. “Tapi kan ada internet, kamu bisa browsing. Beli buku, atau majalah. Bisa nonton TV. Saya malah menyangka tadi kamu sedang memasak,” ini dia saatnya mengorek keterangan si tuan puteri sedang apa siang-siang begini.

“Iya sih, saya tadi memang sedang memasak. Tapi saya lantas sedih, ingat ibu di kampung, hanya berdua adik lelaki saya. Saya kangen.”

Waduh, kata saya dalam hati. Bisa-bisa waduh-waduh terus mendengar ceritanya. Seperti penasaran tadi, suddenly saya jatuh kasihan pada Vita. Di kota ini, perempuan seumur Vita masih senang-senangnya bebas.

Saya membandingkan dengan diri sendiri. Ketika lulus kuliah, dan tak langsung bekerja, saya bermain sepuas hati. Belajar lagi banyak hal. Ikut kursus sana-sini. Dan ketika mendapat pekerjaan di dunia yang saya inginkan, saya eksplorasi diri sepuas hati. Toh tak ada yang membebani, semacam anak atau suami.

Ketika melihat Vita, rasa kasihan muncul. Barangkali karena saya berpikir, tak seharusnya dia ‘terjebak’ pernikahan model konvensional begini di usia yang masih dini menurut ukuran saya.

Barangkali ceritanya akan lain, jika Vita memutuskan ingin menikah sendiri. Setidaknya dia lebih siap menghadapi konsekuensi yang dipilihnya. Bukan karena desakan orangtua.

Aneh juga, zaman semodern ini, secanggih ini, masih ada agenda jodoh-jodohan. Saya terus terang, tidak tahu bisa membantu apa. Atas rasa kasihan terhadap Vita, saya hanya bisa diam. Ketika sore turun, saya pamit.

Rasa penasaran saya hilang, berganti dengan kasihan sembari tak tahu apa yang harus saya lakukan untuk bisa membantunya. Saya, selain hari libur begini, hampir tak pernah punya waktu.

Dan setelah hari itu, lama sekali saya tidak pernah lagi berbincang panjang dengan Vita. Hanya say hello ala kadarnya ketika berpapasan. Persis dengan tatacara saya bertetangga selama ini. Kesibukan memang memenjara, bahkan dari sekadar tetangga.

***

Saya tidak ingat, sudah berapa pekan lewat sejak iseng main ke rumah sebelah. Di kompleks ini, kehidupan berjalan baik-baik saja. Setidaknya begitu di mata saya. Mungkin karena saya asosial, tapi semoga memang baik-baik saja seperti kelihatannya. Juga tetangga sebelah yang istrinya kesepian tiap siang hingga hampir malam.

Saya tak pernah mendengar mereka cekcok. Hingga sampailah pada suatu subuh, di hari pertama saya cuti setelah berpekan-pekan terjerat kerja. Saya bertemu Dwi, suami Vita. Wajahnya kusut, matanya merah, sembab.

“Dwi, baru pulang? Tumben. Lembur?” saya basa-basi karena melihatnya memarkir mobil.

“Tidak Fik, dari rumah sakit,” katanya menghampiri saya.

“Siapa yang sakit?” dalam benak saya menebak, pasti istrinya.

“Vita, keguguran,” jawabnya pendek. Lantas malah duduk di teras rumah saya. Bahasa tubuhnya menunjukkan dia ingin berbagi cerita.

“Terus, Vita sama siapa sekarang? Kok malah kamu tinggal pulang?” nada pertanyaan saya khawatir sungguhan, bukan dibuat-buat sekadar berpura-pura simpati.

“Ada ibunya dan ibu saya, semalam datang dari Yogya.”

Subuh itu, saya batal menghirup oksigen segar sambil lari pagi. Saya malah melihat lelaki menangis. Dwi bercerita, Vita sengaja minum jamu untuk mengugurkan kandungannya dan lompat-lompat di kamar mandi rumah mereka.

Vita yang juga pendiam itu tak pernah bercerita, bahwa sebenarnya dia sangat takut menjalani rumah tangga. Ketakutan yang sebenarnya wajar jika bisa dibagi dengan orang lain. Sayangnya orang lain itu tidak ada. Dwi, juga para tetangga sibuk dengan urusan mereka.

Sesaat setelah sadar dari proses kuret, Vita menangis dan mengatakan belum ingin punya anak. Dia masih ingin belajar banyak, meski telah jadi istri.

“Saya tak pernah tahu Fik, dia tak pernah bilang. Saya pikir semuanya baik-baik saja. Dia istri yang baik,” Dwi menghapus setitik airmata dengan jari telunjuknya.

Saya juga kepingin menangis, dan tiba-tiba merasa sangat egois. Selama ini saya hidup sendiri, bersenang-senang sendiri. Sedangkan di rumah yang berdempet dengan tempat tinggal saya, ada perempuan yang butuh teman. Sekadar teman.

Egois sekali saya jadi manusia, hanya berbagi sedikit cerita saja saya tak mampu. Hanya meluangkan 10 menit waktu saja saya tak bisa.

Apakah kerja telah menjadi segala-galanya yang terbaik bagi saya? Saya sungguh kepingin menangis dan merasa ironis. Setelah ini Vita, saya ingin tak sekadar menjadi tetangga, tapi juga sahabat berbagi rasa. Saya janji dalam hati. Siangnya saya sudah semobil bersama Dwi, meluncur ke rumah sakit. Menengok Vita.

-May Hera-

Jogja, Desember 2010

 Cerita ini pernah dipublikasikan di Majalah Chic edisi Februari 2011