Cemburu

kopi latte2

Pada suatu hari yang hujan, saya dan seorang lelaki (sebutlah dia mantan pacar yang sudah jadi teman baik) bertemu dan berbincang. Kafe tak begitu ramai. Dua cangkir coffee latte tak mampu membuat suasana menjadi romantis.

Padahal kalau diperhatikan, suasana cukup “sempurna”. Sebutlah: kafe hangat, musik jazz, berdua, dua cangkir kopi susu kemayu (baca: coffee latte), sofa dan jendela dengan pemandangan hujan di luar sana.

Tapi ini bukan drama Korea! Marilah kita mulai percakapannya, antara dua orang yang dulu pernah (kira-kira kalau tidak lupa), ingin hidup bersama tapi gagal (dan selalu menyalahkan takdir).

“Kamu cemburu gak sama istriku?”

Cemburu? Pertanyaan yang aneh bukan?

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Pokoknya enggak.”

“Apa karena istriku jauh lebih muda darimu?”

“Enggak juga.”

“Atau jangan-jangan karena kamu anggap dia enggak selevel?”

“Ya enggaklah, dia sudah jadi ibu, aku belum. Levelnya tinggian dia lah.”

“Lalu? Kenapa kamu tidak cemburu?”

Laki-laki. Kalau sedang jenuh dengan rutinitas memang kadang otaknya “somplak” (untuk tidak mengatakan sinting).

“Kamu mau tahu kenapa aku tidak cemburu sama istrimu?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Pengen tahu saja.”

Saya diam, sebab tiba-tiba dalam kepala saya terputar lagu Ambulans Zigzag-nya Iwan Fals. Lagu yang kalau tidak salah ada lirik begini: “Hai modar aku, hai modar aku….”

“Sebab….”

“Apa?”

“Sebab istrimu tidak kenal Iwan Fals, Dewa 19, atau Sheila on Seven. Yaa mungkin kenal, sebab mereka memang terkenal. Tapi, lagu-lagunya, aku jamin, istrimu tidak akan se-khidmat aku dan kamu (untuk tidak mengatakan kita) ketika mendengarkannya.”

Lelaki yang ngotot ingin tahu kenapa saya tidak cemburu pada istrinya itu, diam. Lalu kata-katanya membuat saya tergelak.

“Iya sih, dan dulu aku sering tidak nyambung ngomongin Iwan Fals, Dewa atau Sheila on Seven sama istriku. Tapi, itu kan cuma musik, apalah artinya. Sekarang aku mendengarkan apa yang dia dengarkan.”

“Lagu apa?”

“Ya Afgan, Fatin, banyaklah.”

“Jadi, itulah sebabnya aku tidak cemburu sama istrimu. Sama sekali tidak. Kenapa? Karena istrimu selamanya tidak akan pernah tahu nikmatnya mendengarkan Ambulans Zigzag, atau Mahameru atau Kita-nya Sheila. Ngapain cemburu, ya kan?”

Oke, ngapain cemburu? Ini soal generation gap. Saya, kemudian membahasnya sendiri dalam kepala saya. Soal jurang generasi alias generation gap (biar kelihatan kerenlah, keminggris).

Saya merasa menikmati masa remaja di era “emas” dengan musik-musik cadas, yang kemudian harus diakui mengiringi saya mengarungi kerasnya hidup (untuk tidak mengatakan takdir).

Musik-musik era 90-an itu tetap gemilang dalam benak saya. Dan begitulah, jika saya bertemu dengan generasi, yang katakanlah, belum remaja ketika era 90-an, maka bisa dipastikan dia adalah generasi selanjutnya.

Kepada generasi setelah 90-an, apa yang harus dicemburui? Saya, begitu lena dan bangga pada era 90-an. Generasi setelahnya tidak bisa mencicipinya. Sebab siapa yang mampu memutar waktu?

Musik bisa diputar, film bisa kembali ditonton, tapi, hujan 90-an beda nikmatnya dengan hujan hari ini, bukan begitu? Dan karena itulah, memang, tak ada yang harus dicemburui.

“Ayo pulang, hujan sudah reda,” kata saya seraya berdiri menuju kasir. Hari ini, saya yang traktir.

Sekip
2 November 2015

Catatan kaki:
Kisah ini tentu saja bukan terjadi baru-baru ini, sebab hujan belum datang hingga sekarang. 🙂

Leave a comment